Senin, 16 Mei 2011

ijma’

IJMA’ (Pengertian, Bentuk-bentuk, dan Kehujjahannya) A.Pendahuluan Ushul nahwu dapat dipahami sebagi ilmu yang membahas tentang adillah nahwu secara universal baik dari segi kaedah-kaedahnya, dalil-dalilnya, motode istinbat dengan dalil-dalil tersebut, maupun dalam bentuk aplikasinya. Dari perkembangan ushul nahwu banyak terinspirasi dari wancana keilmuan yang telah dikembangkan oleh ulama ushul fiqh dan ulama fiqh. Seperti halnya dalam sumber hukum yang telah disepakati oleh ulama fiqh yaitu alQuran, sunah, qiyas, dan ijma’ dalm penetapan kaedah-kaedah nahwu. Dalam kajian ushul nahwu pun ulama nahwu baik yang masuk dalam aliran Basrah, Kufah, dan Baghdad juga mengenal dan menyapakati empat sumber hukum tersebut yaitu alquran, sunnah, qiyas, dan ijma’ dalam penetapan kaedah-kaedah nahwu. Sesuai dengan yang telah dikemukakan,dalam makalah ini akan dijelaskan tentang ijma’ yang tercakup didalamnya pengertian ijma’ bentuk-bentuknya, serta kehujjahannya. B.Pembahasan 1. Pengertian ijma’ Secara etimologi ijma’ merupakan masdar dari ÃÌãÚ- íÌãÚ - ÅÌãÚÇ yang berartiÅÊÝÞ (kesepakatan) . Sedangkan secara terminologi,ijma’ sebagaimana yang telah diungkapkan oleh para ahli ushul adalah kesepakatan para mujtahid terhadap suatu permasalahan hukum syara’ setelah wafatnya rasulullah SAW . Sedangkan ijma menurut ibnu jinni adalah kesepakatan ahli dua kota(basrah dan kufah) dan dia boleh menjadi hujjah bila orang lain mengakui bahwa dia tidak bertentangan dengan nash dan diqisaskan kepada nash. Namun bila tidak ada pengakuan , maka ijma tersebut tidak dapat dijadikan hujjah . 2. Bentuk Ijma’ dan Kehujahannya Sebgaimana yang berlaku dalam ushul fiqih , ijma’ dalam ushul nahwu terbagi kepada dua macam : a. ijma’ sharih yaitu kesepakatan yang terjadi setelah masing-masing ahli sepakat mengemukakan pendapatnya secara jelas dan terbuka, yang mana setelah itu tidak ada pendapat yang berbeda b. ijma’ sukuti yaitu kesepakatan dalam bentuk mengemukakan pendapat secara terang dan terbuka oleh seseorang atau beberapa orang tertentu saja, dan para ahli yang lain tidak ada yang membantah pendapat tersebut. Oleh karena tidak ada bantahan tersebut dianggap telah menyetujui pendapat yang dikemukan sebelumnya.seperti halnya áæáÇí dan áæáÇß yang terdapat dalam syair, sebagian besar orang basrah berpendapat bahwa dhamir (kata ganti) ÇáíÇÁ dan ÇáßÇÝ berada dalam tempat majrur, sedangkan menurut al-akhfasy dan ulama’ kufah dhamir menduduki tempat rafa’. Menurut Abu al-Baqa’ sebagaimana yang dikutip oleh al-suthi ada dua kemungkinan: pertama: dhamir tidak ada tempat dalam I’rab, artinya tidak mempunyai kedudukan tertentu dalam komposisi kata, karena padanya tidak terdapat ‘amil. Bila tidak mempunyai ‘amil, maka tidak ada pula ‘amal atau tindakan. Oleh karena itu tidak terlarang jika dhamir tersebut tidak ada i’rabnya, dengan kata lain ia adalah dhamir fashl. Kedua: dhamir tersebut berada pada tempat nasab karena dhamirnya adalah dhamir nasab. Dalam hal ini dia tidak memerlukan ‘amil . Sedangkan menurut Mahmud Ahmad Nihlah, ijma’ itu terbagi kepada tiga, yaitu : a. ijma’ Ruwat yaitu kesepatan yang terjadi pada orang yang meriwayatkan dari sumber sama’ yang disebut juga denga ijam’ sukuti b. ijma’ orang Arab yaitu ijma’ yang terjadi pada orang arab yang juga dapat dijadikan hujah c. ijama’ ahli Nahwu yaitu ijama’ yang terjadi antara ahli nahwu yang terdapat di kota itu yaitu basrah dan kufah mengenai kehujahannya, ijma’ menurut ulama’ Basrah bahwasanya ulama’ basrah mengakui hokum yang dihasilkan ijma’, baik yang dating dari kalanga Arab atau yang disepati oleh ahli nahwu contohnya ulama’ basrah mengatakan ÍÊì menasabkan buka dengan dirinya semdiri, tetapi dengan Ãämudhmarah (yang tidak disebutkan(, karena ÍÊì setelah disepakati sebagai salah satu amil yang masuk pada isim. Oleh karena itu tidak mungkin menjadi amil fi’il . Ulama kupah jaga mengakui keberadaan ijma dan mengakuai bolehnya berhujjah dangan ijma’ . kelihatan yang dijadikan hujjah oleh ulama bashrah tidak mereka jadi sebagai hujjah. Untuk itu mereka mengabil ijma.’ Yang lain, begitu pula sebalik nya. Contoh seperti ulama kufah berpendapt bahwa fiil amr untuk mukhttap (pihak yang di ajak bicara ) yang tidak memakai huruf mudhra’ah seperti ÃÝÚá adalah ãÚÑÈ ãÌÒæã . sedangkan ulama bashrah berpendapat bawa yang demian adalah ãÈäì Úáì ÇáÓßæä . Begitu dalam pandagan ibn jinni yang mewakili dari aliran bagdad, dalam ijma ‘ dapat dilihat siring nya kata itu di sebut kan dalam kitb kasaish . salah satu judul adalah bab tentang pendapat yang mempertanyakan ijma’ orang arab itu kapan dapat dijadikan hujjah . Meskipun ia menerima ijama ‘ sebagai dalil, namun dia meberikan sarat bahwa ijma ‘ itu harus sesuai dengan manqul (ucapan yang diriwayatkan ) dan apa-apa yang diqiyaskan kepadanya . begitu juga ibnu jinni mengatakan bahwa ijma’ orang arab juga dapat dijadikan hujjah . artinya kesamaan dan kseragaman yang terjadi dalam konteks berbahasa di kalangan orang arab bisa dijadikan sumber hukum. Ibn jinni mengemukan sebuah contoh perkataan yang pada umumnya di ucapkan oleh mereka , yaitu ( ÏÇãÊ ÇáÓãÇÁ ÊÏíã ÏíãÇ ) . menurut ibn jinni semua sudah tahu kalau ‘ ain fi’il dari kata ÊÏíã ÏíãÇ adalah waw. Semua orang arab tapa terkecuali sepakat bahwa waw adalah ‘an fi’il dari kata tersebut, sehinga mashdarnya ÇáÏæÇã , bukan ÇáÏíÇã. C. penutup Sebagai mana yang telah di papar kan, ijma’ menurut ahliushul adalah ksepaktan para mujtahib terhadap suatu permasalahan hokum syara’ pada zaman wafatnya rasul SAW. Sedangkan ijma’ menurut ibnu jinni adalah kesepakatan ahli dua kota (bashrah dan kufah) dan dia boleh menjadi hujjah bila orang lain mengakui dia tidak bertentangan dengan nash dan diqiyaskan pada nash. Apapun bentuk-bentuk ijma’ ini menurut ahli ushul fiqg trbagi kepda dua macam , yaitu pertama, ijma’ sharih, dan kedua ijma, sukuti. Sedangkan menurut ahli bahasa yang dikemukakan oleh Mahmud Ahmad Nihlah bahwa ijma’ itu dibagi kepada tiga macam, yaitu pertama, ijma’ ruwat, yaitu kesepakatan yang terjadi pada orang yang meriwayatkan dari sumber sima’ yang disebut juga dengan ijama’ sukuti, kedua, ijama’ arab, yaitu ijma’ yang terjadi pada orang arab yang juga dapat dijadikan hujah, dan ketiga, ijma’ ahli nahwu, yaitu ijma’ yang terjadi di antara ahli nahwu yang terdapat di dua kota yaitu bashrah dan kufah. Mengenai kehujahan para ahli nahwu dalam aliran nahwu juga menyepakati ijma’ yang telah mereka buat, seperti dalam aliran bashrah yang menyepakati bahwa ÍÊì menasabkan bukan dengan dirinya sendiri, tetapi denganÃä mudhmarah (yang tidak disebutkan), karena ÍÊì telah disepakati sebagai salah satu amil yang masuk pada isim. Oleh karena itu tidak mungkin menjadi amil fi’il. Begitu juga dengan aliran kufah juga memberikan tentang ijma’ yang mereka buat, yaitu ulama’ kufah berpendapat bahwa fi’il amr untuk mukhattabah (pihak yang diajak bicara) yang tidak memakai huruf mudhara’ah seperti ÃÝÚá adalah ãÚÑÈ ãÌÒæã sedangkan ulama’ bashrah berpendapat bahwa yang demikian adalah ãÈäì Úáì ÇáÓßæä . DAFTAR KEPUSTAKAAN Lois ma’luf, Almunjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyraq, 1992). Nihlah, Mahmud Ahmad, Ushul Al-Nahwu Al-Arabi, (Iskandariyah:Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyah, 2002). Ibnu Jinni, Al-Khasaish, (kairo: Dar al-Kutub al- Misriyah, 1953). Al-Suyuthiy, al-Qira’ah fi ‘ilmi ushu al-Nahwi, (Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyyah, 2006). Bustami, Hafni, Metode Nahwu al-Zamakhsyariy, (Jakarta: Program Pasca sarjana UIN Jakarta, 2008), Disertasi. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar